Pertumbuhan pembelajaran jarak jauh dipicu oleh kebutuhan negara-negara miskin untuk merapatkan kesenjangan pendidikan terhadap negara-negara kaya. Menurut UNESCO, hanya 3% anak muda-usia di kawasan Sub-Sahara Afrika dan 7% di kawasan Asia mengikuti salah satu bentuk pendidikan menengah yang ada. Bandingkan data itu dengan 58% di negara maju secara keseluruhan, dan 81% di Amerika Serikat. Negara-negara berkembang memandang investasi ke dalam program-program jarak jauh sebagai cara untuk menyekolahkan anak dalam jumlah yang lebih banyak, tetapi dengan biaya yang lebih sedikit. UNESCO dan Bank Dunia melaporkan bahwa di 10 lembaga pendidikan jarak jauh di dunia—kebanyakan berada di Dunia Ketiga—rata-rata biaya sekolah tiap anak hanyalah sepertiga dari biaya sekolah biasa di negara yang sama.
Pembelajaran jarak jauh tampaknya menjadi perintis bagi e-learning, tetapi keduanya tidaklah sama, dan transisi dari bentuk yang pertama ke bentuk yang berikutnya cukup menantang. Antusiasme awal yang menyambut gagasan universitas maya (virtual university) tidak diikuti langkah perintisannya, tetapi program-program terakreditasi yang sepenuhnya dapat diikuti melalui jaringan internet tetap ada dan bertambah dengan cepat. Sebagian dari kesulitan yang menghadang timbul dari pemahaman yang lamban tentang peran yang disumbangkan TIK pada segi-segi pendidikan dalam proses belajar-mengajar. Misalnya, dalam lingkungan tradisional, kegiatan belajar paling banyak terjadi di luar kelas, sehingga upaya-upaya untuk menggunakan TIK sebagai pengganti ruang kelas tidak dapat memberikan pengalaman belajar seutuhnya kepada para murid. Penghambat lainnya bagi e-learning adalah waktu dan biaya yang diperlukan untuk menyiapkan bahan ajar secara digital, yang lebih canggih daripada cara-cara tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar