TIK dapat baik menguntungkan, maupun mengancam kebudayaan Indonesia. Mengancam, karena dapat menggulung kebudayaan-kebudayaan setempat dalam proses globalisasi yang tak terbendung. Akan tetapi, TIK juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk membantu kelompok-kelompok yang terancam agar dapat menghadapi arus globalisasi secara positif dan sesuai dengan kemauan mereka. Keprihatinan saat ini adalah bahwa keadaan yang pertamalah yang lebih mungkin terjadi dibandingkan dengan keadaan yang kedua. Patut diingat bahwa TIK tidak akan dapat menciptakan kemanunggalan ataupun keberagaman kebudayaan jika bertindak sendiri. Penyesuaian perilaku individu, kelompok, dan lembaga-lembaga sangatlah mutlak, sebelum hasil-hasil signifikan yang diharapkan dari pemanfaatan TIK dapat diperoleh. Lembaga-lembaga yang telah ada—seperti perpustakaan dan museum—dapat membantu proses pemerataan pemilikan aset-aset kebudayaan, asalkan mereka dapat menyiasati keterbatasan peran tradisionalnya.
Internet telah menjadikan peran tradisional perpustakaan dan museum tampak kuno. Padahal, lembaga-lembaga seperti itu berperan besar dalam memobilisasi masyarakat agar menerima cara-cara pendekatan yang lebih terbuka dan dinamis untuk mempertahankan dan melindungi kebudayaan asli. Perpustakaan dan museum dapat memfasilitasi pola kepemilikan dan pelestarian yang lebih merata bagi benda-benda kebudayaan yang kini dapat disajikan secara digital. Jaringan-jaringan yang menghubungkan gambar-gambar digital benda-benda budaya dengan komunitas tempat asal benda-benda budaya tersebut dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan penghargaan yang lebih luas terhadap nilai dan kepentingannya serta lebih melibatkan diri dalam menentukan pemanfaatan dan penafsirannya.
TIK dapat dimanfaatkan untuk membantu penduduk asli di perdesaan dan komunitas minoritas memperoleh hak mereka untuk kepemilikan pemeliharaan dan penafsiran serta komersialisasi warisan budaya mereka sendiri. Kajian-kajian mengenai komunitas asli selalu menunjukkan betapa mereka menghargai warisan budaya mereka, namun mereka juga menggarisbawahi kenyataan bahwa mereka nyaris tidak berhak atau berpartisipasi dalam menetapkan bagaimana kekayaan budaya mereka dapat dihimpun atau disajikan. TIK tidak akan menyeragamkan kebudayaan, melainkan memelihara keberagamannya. Apa pun hasil yang akan diperoleh sangatlah bergantung dari keputusan para anggota masyarakatnya tentang bagaimana TIK akan dimanfaatkan.
Saat ini UNESCO sedang merumuskan suatu akta dan panduan untuk pelestarian warisan budaya secara digital. Warisan digital adalah semua materi digital yang bernilai dan bermakna abadi. Strategi-strategi baru perlu dikembangkan untuk menjamin agar warisan itu dapat diturunkan kepada anak-cucu. Warisan digital dapat ‘terlahir digital’, yaitu tidak ada bentuk lainnya di samping bentuk asli yang digital, atau bentuk yang diciptakan melalui pengalihannya dari bahan-bahan yang ada dalam bahasa apa pun dan di bidang pengetahuan dan kesenian apa pun. Warisan digital mencakup baik teks linear, data dasar, gambar-gambar yang diam dan bergerak, audio, dan grafika, maupun piranti lunak yang berkaitan, baik bersumber online maupun offline dari berbagai belahan dunia. Preambul akta mencantumkan bahwa pusat-pusat intelektual dan kultural semua bangsa dalam bentuk digital terancam karena sifatnya yang sementara. Akta kebudayaan kemudian memerinci kebutuhan akan asas-asas pelestarian digital dan strategi yang akan menjamin bahwa warisan budaya ini akan dapat dipelajari siapa pun dan kapan pun di masa depan.
Banyak kelompok pribumi dan minoritas tidak merasa bahwa mereka adalah pewaris sah kebudayaan mereka sendiri. Mereka kuatir bahwa orang asing lebih mudah memperoleh baik catatan maupun benda-benda yang berkaitan dengan warisan budaya mereka daripada mereka sendiri. Keprihatinan utama mereka dipicu baik oleh kemungkinan penyalahgunaan cara pemerolehan demikian, maupun ketidakmampuan orang-orang demikian untuk memperlakukan warisan budaya itu sebagaimana mestinya. Mereka tidak dapat menunjukkan kepada dunia luar gambaran tentang diri mereka sendiri, sejarah dan kejayaannya, yang seringkali mereka sendiri pun tidak tahu persis. Mereka berpandangan bahwa keadaannya semakin parah dan bukannya menjadi lebih baik sejak teknologi mengalihkan kekuasaan kepada segelintir manusia untuk menggali informasi mengenai warisan mereka, namun merampas mayoritas pewarisnya dari kesempatan serupa. Mereka ingin agar TIK meluruskan ketimpangan tersebut dengan merekam sejarah lisan dan silsilah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar